Ketika Indonesia masih berkutat pada
upaya pemerataan pendidikan lewat pembangunan SD-SD Inpres, Malaysia sudah
berbicara pada tataran peningkatan kualitas pendidikan. Ketika Indonesia masih
disibukkan perdebatan soal “ganti menteri ganti kurikulum”, Malaysia sudah
menggagas apa yang mereka sebut pendemokrasian pendidikan.Lalu, ketika tokoh
dan birokrat pendidikan di Indonesia sibuk berdebat tentang apa dan bagaimana
sesungguhnya sistem pendidikan nasional; belakangan tentang wacana seputar
pendanaan pendidikan minimal 20 persen dari APBN/APBD. Sedang Malaysia sudah
bicara tentang bagaimana strategi mewujudkan suatu sistem pendidikan bertaraf
Internasional.
Dan itu tidak main-main. Keinginan untuk go international langsung
dituangkan dalam rumusan misi utama Kementerian Pendidikan Malaysia, yang
berbunyi, “Mewujudkan sistem pendidikan bertaraf dunia bagi merealisasikan
potensi sepenuhnya setiap individu, di samping memenuhi aspirasi masyarakat
Malaysia.”
Pada saat bersamaan, untuk memupuk
semangat kebersamaan dan perpaduan kaum di antara anak negeri, lembaga
pendidikan dirancang sebagai tiang penyangga utama. Melalui konsep yang
dinamakan “Sekolah Wawasan” dengan tradisi mendidik lewat pendekatan “meluntur
buluh biarlah dari rebungnya”, konflik perkauman yang cenderung berlarut-larut
di banyak negara diharapkan tidak merembes ke wilayah negeri ini.
Proyek perintisan “Sekolah Wawasan” ini
dimulai sejak tahun 2001, sebagai kelanjutan “Program Integrasi Sekolah” yang
coba diperkenalkan tahun 1986, dengan memberi peluang anak-anak dari berbagai
etnis dan golongan bercampur-gaul satu sama lain melalui berbagai aktivitas dan
program di luar ruang belajar. Untuk mewujudkan proyek tersebut, pada tahap
awal, Pemerintah Kerajaan Malaysia menyediakan anggaran RM 46,2 juta (Ringgit
Malaysia; 1 RM setara 2.650 rupiah). Pada tahun kedua, anggaran itu dinaikkan
hampir dua kali lipat menjadi RM 76,7 juta.
Di atas segala-galanya, seperti pernah
dikemukakan mantan Menteri Pendidikan Malaysia YB Tan Sri Dato’ Musa bin
Mohamad, “Semua itu tidak akan membawa arti apa-apa sekiranya dalam kegairahan
memperluas peluang pendidikan itu kita tidak memberi tekanan setimpal pada mutu
pendidikan.” Di sini, kata kuncinya adalah mutu! Boleh jadi akan muncul
pertanyaan menggelitik: Mengapa Malaysia yang pada era 1970-an masih “berguru”
kepada Indonesia dalam hal pendidikan justru kini lebih maju, yang antara lain
tampak pada peringkat indeks pembangunan manusia alias Human Development Index
(HDI) Malaysia yang sudah melampaui Indonesia?
Di sekolah Malaysia pada umumnya ,
disiplin menjadi semacam “panglima”. Untuk itu, ada buku panduan khusus, ysng
disebutnya sebagai tools management. Di dalam buku panduan yang juga disebarkan
kepada para orangtua murid itu diatur hingga amat detail tentang hal-hal apa
saja yang tidak boleh dilakukan.Aturan itu berlaku untuk semua. Tak ada
pengecualian, bahkan terhadap anak pejabat sekalipun. Dua kali terlambat,
misalnya, akan mendapat teguran amat keras hingga di-rotan (dipukul pantatnya
dengan rotan). Kendati demikian, si anak tetap diwajibkan mengikuti kegiatan
belajar, yakni dengan cara menyimak dan atau mencatat interaksi guru dan murid
dari balik jendela di luar ruang kelas tiap kesalahan, masuk dalam daftar
catatan.
Selepas menerima hukuman khusus itu, si
anak diwajibkan menghadap guru konseling untuk mendapat bimbingan dan
penyuluhan. Bila si anak melakukan kesalahan yang masuk kategori berat; seperti
menyontek, merokok, atau berkelahi, ancamannya diskors hingga dikeluarkan dari
sekolah. Aturan-aturan itu tidak sekadar di atas kertas, tetapi benar-benar
dilaksanakan. Tidak seperti di Indonesia, di sini jarang sekali terdengar aksi
protes guru-guru yang berstatus pegawai kerajaan menyangkut aspek
kesejahteraan. Ini bisa dipahami. Dengan gaji RM 2 ribu perbulan bagi guru yang
baru diangkat yang biasanya masih berstatus lajang. Tentu mereka tak terlalu
dipusingkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi guru senior .
Di luar jabatan strukturalnya sebagai wakil kepala sekolah, rata-rata guru-guru
berpengalaman di Malaysia digaji kerajaan sekitar RM 9 ribu alias sekitar 23
juta rupiah perbulan.
Di luar pendapatan rutin bulanan itu,
pihak kerajaan masih memberi sokongan dan berbagai kemudahan bagi guru untuk
menaikkan status sosial mereka. Pinjaman pembelian rumah dan kendaraan (baca:
mobil), tentu saja dengan bunga yang amat rendah, bisa diperoleh guru setelah
mengabdikan diri dalam rentang waktu tertentu kepada kerajaan. Penghargaan
masyarakat kepada guru (warga setempat menyebutnya Cekgu) juga cukup tinggi
sehingga status sosial guru dalam kehidupan sehari-hari mendapat tempat
terhormat. Iklim yang demikian tentu amat mendukung lahirnya guru-guru yang
profesional. Tanpa harus digembar-gemborkan pejabat yang berwenang, sebagaimana
sering terdengar di negeri ini, profesionalitas di kalangan guru datang dengan
sendirinya setelah kebutuhan dan penghargaan terhadap mereka diberikan pihak
kerajaan dan stakeholders pendidikan.
Di Kota Kuching sebagai pusat
pemerintahan Negara Bagian Sarawak misalnya, tak terdengar berita ada guru yang
telah digaji kerajaan, mengajar di lebih dari satu sekolah. Dengan begitu,
perhatian mereka pada tugas dan tanggung jawab sebagai guru menjadi lebih
terfokus. Lebih dari itu, kesempatan mereka untuk bisa mengembangkan diri agar
memiliki tampilan dan sosok sebagai pendidik sejati terbuka lebar. Setiap ada
perkembangan baru, taruhlah seperti ada kurikulum baru, guru-guru di serawak
diantar berkursus. Seluruh biaya untuk aktiviti itu ditanggung oleh kerajaan,
Ujung dari semua itu bisa dipahami bila kualitas pendidikan di negeri ini terus
merangkak naik. Seiring dengan itu, kualitas sumber daya manusia di kalangan
anak-anak negeri pun dengan sendirinya ikut terdongkrak, yang kemudian
berimplikasi pada peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat umumnya.
Pergerakan itu tercermin dari peringkat HDI Malaysia yang kini masuk dalam
deretan negara-negara berkembang paling progresif, meninggalkan Indonesia!
Pada era 1960-an hingga 1970-an,
Pemerintah Malaysia banyak mengirim pelajar-pelajarnya ke lembaga pendidikan
bergengsi di luar negeri, seperti Inggris, Australia, dan Amerika Serikat.
Umumnya, sepulang dari belajar di luar negeri, mereka inilah yang kemudian
menjadi pimpinan di banyak lembaga pemerintahan di negeri ini. Disokong mereka
yang menamatkan pendidikan di dalam negeri, termasuk mantan Perdana Menteri
Mahatir Mohammad yang menyelesaikan pendidikan di Singapura, bidang pendidikan
menjadi perhatian. Pada saat bersamaan, pada tahun 1970-an itu berdatangan para
sukarelawan dari Australia, Inggris, Selandia Baru, dan Amerika Serikat ke
kawasan Semenanjung Malaya serta Sabah dan Sarawak. Mereka bergerak di berbagai
bidang kehidupan, termasuk di ikut terlibat dalam bidang pendidikan. Secara
tidak langsung kehadiran para sukarelawan dari luar negeri ini ikut
meningkatkan taraf pendidikan Malaysia. Bahkan, beberapa di antara para
sukarelawan itu ada yang akhirnya tetap tinggal di Malaysia, Namun, sudah
diketahui luas, di era 1970-an itu cukup banyak guru-guru dari Indonesia
diminta Pemerintah Kerajaan Malaysia untuk mengajar di negeri jiran itu.
Kini, setelah hampir 30 tahun lebih
berlalu, Malaysia berhasil menuai buah dari usaha yang mereka tanam. Tantangan
pendidikan yang mereka hadapi tidak lagi menyangkut hal-hal mendasar, seperti
ambruknya gedung-gedung sekolah dan tingkat kesejahteraan guru, tetapi pada
berbagai input lain dari pendidikan sebagai sebuah proses. Taruhlah seperti
upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga pengajar yang tidak boleh
berhenti pada satu titik. Sebaliknya, kemampuan-kemampuan itu tetap dan selalu
harus terus diasah, seiring dengan kemajuan pesat yang berkembang di luar ruang
kelas. Berkat konsistensi antara keinginan dan sikap Pemerintah Kerajaan
Malaysia akan pentingnya dunia pendidikan bagi kemajuan bangsa, seperti telah
mereka buktikan antara lain lewat penyediaan anggaran yang cukup signifikan
(hingga 23 persen dari total anggaran negara) untuk bidang ini, institusi
pendidikan di negeri ini telah menjadi pusat tolehan bagi berbagai kepentingan.
Banyak orang percaya, keberhasilan
Malaysia bangkit begitu cepat dari keterpurukan akibat pengaruh ekonomi global
beberapa tahun lalu, salah satunya berkat andil besar dunia pendidikan yang
mampu menghasilkan manusia-manusia berkualitas dan mandiri.Maukah kita belajar
dari pengalaman mereka tanpa rasa malu bahwa kita pernah menjadi “Guru” bagi
Malaysia? Sebuah Pertanyaan yang harus di jawab kita semua , bangsa Indonesia.
*) Diambil dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar