Oleh : Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
A. Pengantar
Membahas wilayah kajian dan objek kajian ilmu pengetahuan beserta paradigma kajiannya tidak dapat dipisahkan dari pandangan filsafat terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Menurut filsafat ilmu, ilmu bersandar pada 3 (tiga) pilar penyangga, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi merupakan asas penetapan objek dan wilayah kajian dan karenanya menjawab pertanyaan apa yang dikaji, termasuk apa realitas yang dikaji merupakan sesuatu wujud yang nyata (kongkret), tidak nyata (abstrak) atau simbolik. Epistemologi merupakan asas penetapan bagaimana cara mempelajari atau memperolehnya, dan karenanya menjawab pertanyaan bagaimana mengkajinya. Sedangkan aksiologi merupakan asas penetapan tujuan dan manfaat pengetahuan, dan karenanya menjawab pertanyaan apa tujuan dan manfaat pengetahuan yang akan dikaji tersebut.
A. Pengantar
Membahas wilayah kajian dan objek kajian ilmu pengetahuan beserta paradigma kajiannya tidak dapat dipisahkan dari pandangan filsafat terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Menurut filsafat ilmu, ilmu bersandar pada 3 (tiga) pilar penyangga, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi merupakan asas penetapan objek dan wilayah kajian dan karenanya menjawab pertanyaan apa yang dikaji, termasuk apa realitas yang dikaji merupakan sesuatu wujud yang nyata (kongkret), tidak nyata (abstrak) atau simbolik. Epistemologi merupakan asas penetapan bagaimana cara mempelajari atau memperolehnya, dan karenanya menjawab pertanyaan bagaimana mengkajinya. Sedangkan aksiologi merupakan asas penetapan tujuan dan manfaat pengetahuan, dan karenanya menjawab pertanyaan apa tujuan dan manfaat pengetahuan yang akan dikaji tersebut.
Secara
ontologik, ilmu terbatas pada kawasan yang berada dalam jangkauan pengalaman
dan pengamatan manusia. Ide-ide tentang Tuhan, alam akhirat, surga, neraka, dan
sejenisnya, kendati telah lama hidup dalam perbendaharaan jiwa manusia dan
secara kuat mempengaruhi perilaku menusia sehari-hari bukan merupakan hasil
potret pengalaman empirik manusia karena tidak muncul dalam dunia observasi dan
pengalaman empirik. Karena itu, pengetahuan tersebut tidak termasuk kawasan
ilmu pengetahuan ilmiah. Penggagas Rasionalisme Kritis Popper (1972), misalnya,
menyebutnya pengetahuan yang “dapat diuji”, dan “yang tidak dapat diuji”.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang terbuka untuk diuji. Tolok
ukur yang dipakai Popper untuk membedakan pengetahuan “ilmiah” dan
“non-ilmiah” bukan “benar” dan “salah”, melainkan “dapat diuji” dan “tidak
dapat diuji” (Wuisman, 1996: 20). Selain itu, ilmu berupaya menafsirkan hakikat
wilayah atau objek kajian sebagaimana adanya dan terbuka untuk pengujian secara
terus menerus. Pengujian secara terus menerus dilakukan untuk memperoleh
kebenaran. Sebab, ilmu pengetahuan yang dibangun atas dasar pengamatan manusia
sejatinya tidak lain hanya merupakan dugaan atau asumsi. Ilmu pengetahuan tidak
pernah benar secara mutlak. Ilmu hanya dapat berkembang apabila terus menerus
dikaji. Lewat kajian tersebut akan ditemukan data dan fakta baru yang
membuktikan kebenaran dan kesalahannya. Karena itu, ilmu berangkat dari fakta
dan berakhir dengan fakta pula. Secara epistemologik, ilmu menyusun dan
menambah bangunan pengetahuan melalui metode tertentu, yang disebut metode
ilmiah. Metode ilmiah adalah seperangkat cara dan tata kerja untuk menghasilkan
pengetahuan ilmiah secara sistemik dan sistematik. Sistemik artinya ada saling
keterkaitan antar-unsur dan sistematik artinya ada urutan logik antar-langkah.
Secara aksiologik, tujuan dan pemanfaatan pengetahuan keilmuan harus dimaksudkan demi kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat meningkatkan taraf hidup manusia tanpa harus mengorbankan kodrat dan martabatnya, serta kelestarian dan keseimbangan alam. Karena itu, ilmu merupakan harta bersama umat manusia. Setiap orang berhak menggali dan memanfaatkan ilmu sesuai kebutuhannya.
Setiap ilmu niscaya memiliki ciri dan kekhususan masing-masing, kendati antara yang satu dengan yang lainnya dapat saling bersentuhan. Ilmu manajemen, misalnya, sebagai bagian dari kekayaan pengetahuan manusia, memiliki ciri dan kekhususan sendiri pula yang membedakannya dengan ilmu pengetahuan lainnya baik secara ontologik, epistemologik maupun aksiologik.
Dengan demikian, karena masing-masing ilmu memiliki ciri-ciri khusus, maka setiap kajian tentang metode keilmuan tertentu, perlu terlebih dahulu menjawab pertanyaan: (1) apa bahan yang dikaji, (2) bagaimana cara mengkajinya dan (3) apa manfaat atau tujuan kajian tersebut.
B. Objek Penelitian Manajemen Pendidikan Islam
Secara teoretik manajemen pendidikan Islam juga mengikuti kaidah-kaidah manajemen pada umumnya dengan objek kajiannya adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam. Namun demikian, secara ontologik masih terdapat beberapa varian persepsi mengenai bidang studi yang relatif baru ini. Ditilik dari namanya, bidang kajian ini merupakan bidang kajian lintas disiplin (inter-desciplinary course), jika pemisahan istilahnya adalah: manajemen + pendidikan Islam. Namun jika pemisahannya adalah: manajemen + pendidikan + Islam, maka bidang kajian ini merupakan bidang multi disiplin (multi-desciplinary course). Bisa juga pemisahannya adalah: manajemen pendidikan + Islam. Tampaknya yang lebih menjadi concern program studi adalah pemisahan model pertama (manajemen + pendidikan Islam).
Implikasi dari model kajian semacam itu adalah pengkaji dituntut untuk menguasai lebih dari satu macam disiplin ilmu. Di satu sisi, pengkaji dituntut untuk menguasai ilmu manajemen secara umum, dan di sisi yang lain dia juga dituntut untuk menguasai konsep-konsep pendidikan Islam dengan menggunakan al Qur’an dan hadis sebagai cara pandang. Ini tentu bukan pekerjaan mudah.
Secara aksiologik, tujuan dan pemanfaatan pengetahuan keilmuan harus dimaksudkan demi kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat meningkatkan taraf hidup manusia tanpa harus mengorbankan kodrat dan martabatnya, serta kelestarian dan keseimbangan alam. Karena itu, ilmu merupakan harta bersama umat manusia. Setiap orang berhak menggali dan memanfaatkan ilmu sesuai kebutuhannya.
Setiap ilmu niscaya memiliki ciri dan kekhususan masing-masing, kendati antara yang satu dengan yang lainnya dapat saling bersentuhan. Ilmu manajemen, misalnya, sebagai bagian dari kekayaan pengetahuan manusia, memiliki ciri dan kekhususan sendiri pula yang membedakannya dengan ilmu pengetahuan lainnya baik secara ontologik, epistemologik maupun aksiologik.
Dengan demikian, karena masing-masing ilmu memiliki ciri-ciri khusus, maka setiap kajian tentang metode keilmuan tertentu, perlu terlebih dahulu menjawab pertanyaan: (1) apa bahan yang dikaji, (2) bagaimana cara mengkajinya dan (3) apa manfaat atau tujuan kajian tersebut.
B. Objek Penelitian Manajemen Pendidikan Islam
Secara teoretik manajemen pendidikan Islam juga mengikuti kaidah-kaidah manajemen pada umumnya dengan objek kajiannya adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam. Namun demikian, secara ontologik masih terdapat beberapa varian persepsi mengenai bidang studi yang relatif baru ini. Ditilik dari namanya, bidang kajian ini merupakan bidang kajian lintas disiplin (inter-desciplinary course), jika pemisahan istilahnya adalah: manajemen + pendidikan Islam. Namun jika pemisahannya adalah: manajemen + pendidikan + Islam, maka bidang kajian ini merupakan bidang multi disiplin (multi-desciplinary course). Bisa juga pemisahannya adalah: manajemen pendidikan + Islam. Tampaknya yang lebih menjadi concern program studi adalah pemisahan model pertama (manajemen + pendidikan Islam).
Implikasi dari model kajian semacam itu adalah pengkaji dituntut untuk menguasai lebih dari satu macam disiplin ilmu. Di satu sisi, pengkaji dituntut untuk menguasai ilmu manajemen secara umum, dan di sisi yang lain dia juga dituntut untuk menguasai konsep-konsep pendidikan Islam dengan menggunakan al Qur’an dan hadis sebagai cara pandang. Ini tentu bukan pekerjaan mudah.
Sebagai
program studi dengan bidang kajian khusus, secara ontologik manajemen
pendidikan Islam menetapkan kawasannya berdasarkan fakta empirik dan konsep
teoretik manajemen pendidikan Islam. Manajemen adalah sebuah konstruk teoretik.
Pendidikan adalah konsep substantif, tetapi masih di tingkat generik, sedangkan
Islam adalah konsep substantif di tingkat partikularistik. Dengan demikian,
secara definitif manajemen pendidikan Islam adalah proses mengelola
lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pondok pesantren, dan
lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dengan menggunakan Islam (al Qur’an dan
hadis) sebagai cara pandang/perspektif. Diyakini lembaga-lembaga pendidikan
tersebut memiliki ciri khusus yang membedakaanya dengan lembaga-lembaga
pendidikan lainnya sehingga diperlukan model pengelolaan secara khusus pula.
Secara
lebih rinci, objek kajian manajemen pendidikan Islam meliputi: (1) perangkat
kegiatan apa saja yang membentuk konstruk manajemen, mulai dari planning,
organizing, actuating hingga controlling, (2) komponen-komponen sistemik yang
niscaya ada dalam fenomena pendidikan, mulai dari input, output, outcome,
proses belajar, sarana dan prasarana belajar, lingkungan, guru, kurikulum,
personalia pendukung, bahan ajar, masyarakat, evaluasi dan (3) fakta empirik
yang diberi label (pendidikan) Islam, dengan kekhususannya, seperti nilai-nilai
yang berkembang di lingkungan lembaga pendidikan Islam (ikhlas, barokah,
tawadu’, istiqomah, ijtihad, dan sebagainya).
Memahami pendidikan sebagai upaya teleologik di mana manajemen merupakan bagian komponen yang tak terpisahkan dari praktik pendidikan, ilustrasi berikut dapat dipakai mencari ruang/wilayah kajian penelitian.
Memahami pendidikan sebagai upaya teleologik di mana manajemen merupakan bagian komponen yang tak terpisahkan dari praktik pendidikan, ilustrasi berikut dapat dipakai mencari ruang/wilayah kajian penelitian.
C. Proses Penelitian Manajemen Pendidikan Islam
Sebagai
aktivitas ilmiah, penelitian memiliki langkah-langkah yang sistemik dan
sistematik yang berlaku untuk semua disiplin ilmu. Sistemik artinya ada saling
keterkaitan antar-unsur dan sistematik artinya ada urutan logik antar-langkah.
Setidaknya terdapat 8 (delapan) tahap penelitian sebagai berikut: (1) selecting
a topic), (2) determining a research paradigm, (3) formulating a research
question, (4) determining a research design, (5) collecting data, (6) analyzing
data, (7) interpreting data, (8) informing others.
1.
Selecting a topic
Memilih
topik penelitian merupakan langkah paling awal yang harus dilakukan seorang
peneliti. Topik penelitian merupakan ide atau gambaran sangat umum yang akan
menjadi tema kajian, bisa tentang masalah pendidikan, budaya, politik, sejarah,
ekonomi, agama dan sebagainya.
Tidak
ada formula yang baku tentang metode bagaimana mencari topik penelitian. Tetapi
ada beberapa cara yang bisa dipakai sebagai pedoman. Menurut sebagai
berikut:
- personal experience, yaitu pengalaman pribadi yang pernah dialami
seseorang. Ini bisa menjadi inspirasi seseorang untuk melakukan
penelitian.
- curiosity, yaitu rasa ingin tahu yang kuat. Misalnya, sesaeorang
ingin mengetahui pola hubungan antara majikan dan staf di dalam sebuah
perusahaan atau kantor sehingga melahirkan kinerja yang sinergis.
- the state of knowledge in a
field, yaitu tema atau isu–isu baru
di masyarakat yang mengundang perhatian publik. Misalnya, beberapa waktu
lalu terjadi bentrok antar-pemeluk agama karena munculnya aliran baru
dalam agama, seperti Ahmadiyah.
- solving a problem, yaitu keinginan menyelesaikan masalah yang terjadi di
masyarakat dengan segera. Misalnya, di masyarakat ada gejala orang mudah
marah atau bersifat emosional terhadap kebijakan publik.
- social premiums (some topics
are “hot” and invite challenges or opportunities. Ada tema atau topik tertentu yang menantang untuk
diteliti dengan imbalan finansial yang cukup memadai.
- f. personal values, yakni nilai atau manfaat khusus secara pribadi atas
hasil penelitian.
- everyday life, yakni peristiwa sehari-hari bisa menjadi lahan atau
tema penelitain, baik yang berskala mikro maupun makro.
Namun demikian dari sekian banyak
tahapan tersebut, tema penelitian untuk skripsi, tesis dan desertasi setidaknya
memenuhi 3 (tiga) syarat R, yakni:
a. (R)elevansi Akademik, bahwa
penelitian harus memberikan sumbangan keilmuan sesuai bidang studi yang kita
tekuni).
b. (R)elevansi Sosial, bahwa
penelitian harus menarik dan relevan dengan isu-isu yang terjadi d masyarakat.
c.
(R)elevansi Institusional, bahwa penelitian mengangkat tema yang akrab dengan
lembaga di mana kita bekerja atau belajar.
2.
Determining a Research Paradigm
Selaras
dengan tinjauan aksiologik, dalam khasanah metodologi penelitian atau kajian
dikenal, paling tidak, tiga paradigma kajian utama, yaitu: (1) paradigma
positivistik (positivistic paradigm), (2) paradigma interpretif (interpretive
paradigm), dan (3) paradigma refleksif (reflexive paradigm).
Lazimnya, paradigma positivistik disepadankan dengan pendekatan kuantitatif (quantitative
approach), paradigma interpretif disepadankan dengan pendekatan kualitatif
(qualitative approach), sedangkan paradigma refleksif disepadankan
dengan pendekatan kritik (critical approach).
No.
|
Aksioma
|
Positivistik
|
Interpretif
|
Refleksif
|
1
|
Tujuan
|
Menjelaskan realitas
|
Memahami fenomena
|
Memberdayakan dan membebaskan
|
2
|
Dasar kenyataan
|
Stabil dan terpola
|
Cair dan mengalir
|
Penuh dengan pertentangan
dan dipengaruhi oleh struktur
terselubung yang mendasarinya
|
3
|
Sifat dasar manusia
|
Rasional dan memiliki kepentingan
pribadi, serta dipengaruhi oleh kekuatan di luar dirinya
|
Membentuk makna dan niscaya
memberi makna terhadap dunia mereka
|
Manusia bersifat kreatif dan
adaptif, tetapi cenderung terbelenggu dan tertindas oleh kesadaran palsu
|
4
|
Peran akal sehat
|
Berbeda dari dan tidak sahih
dibanding pengetahuan keilmuan
|
Seperangkat teori keseharian yang
digunakan dan bermanfaat bagi orang-orang tertentu
|
Keyakinan palsu yang menyelubungi
kenyataan sebenarnya
|
5
|
Wujud Teori
|
Teori adalah sistem logik,
deduktif, dan menggambarkan saling keterkaitan antara sejumlah difinisi,
aksioma, dan hukum
|
Teori adalah paparan tentang
bagaimana seperangkat sistem pemaknaan dihasilkan dan dipertahankan
|
Teori adalah kritik yang membuka
atau mengungkap kenyataan sebenarnya dan membantu manusia melihat cara
memperbaiki keadaan
|
6
|
Tolok Ukur Kebenaran Penjelasan
|
Apabila secara logik terkait
dengan hukum serta didasarkan pada kenyataan
|
Apabila menyuarakan kembali atau
memang dipandang benar oleh para pelaku sendiri
|
Manakala bisa memberi manusia
seperangkat piranti yang diperlukan untuk mengubah kenyataan
|
7
|
Bukti kebenaran
|
Didasarkan pada pengamatan yang
tepat sehingga orang lain bisa mengulanginya
|
Terpancang atau terkait konteks
interaksi manusia yang cair dan mengalir
|
Ditakar berdasar kemampuannya
dalam menyingkap struktur terselubung yang mendasari kepalsuan atau
ketidak-adilan
|
8
|
Kedudukan nilai
|
Bebas nilai (value free)
dan tidak memiliki tempat kecuali ketika seseorang memilih topik kajian
|
Bagian tak terpisahkan dari
kenyataan manusia (value bound)
|
Ilmu harus mulai dari pendirian
menurut tata-nilai tertentu
Ada nilai-nilai benar, ada pula
nilai-nilai yang salah.
|
9
|
Langkah Kerja
|
(1) Perumusan masalah (research
problem), yang meliputi kegiatan memilih masalah yang memenuhi syarat
kelayakan dan kebermaknaa
(2) Penyusunan kerangka berpikir
dalam pengajuan hipotesis, yang mencakup kegiatan penelaahan teori dan hasil
kajian sebelumnya,
(3) Perumusan hipotesis, sebagai
jawaban sementara terhadap permasalahan
(4) pemilihan atau pengembangan
rancangan kajian,
(5) Pengembangan piranti atau alat
pengumpulan data,
(6) Pengumpulan atau pemerolehan
data,
(7) pengolahan data untuk menguji
hipotesis,
(8) penafsiran hasil kajian, dan
(9) penarikan kesimpulan
berdasarkan hasil pengolahan data,
(10) penyatu-paduan hasil kajian
ke dalam bangunan pengetahuan sebelumnya, serta saran bagi kajian berikutnya.
|
(1) penentuan pumpun kajian (focus
of study), yang mencakup kegiatan memilih masalah yang memenuhi syarat
kelayakan dan kebermaknaan,
(2) pengembangan kepekaan teoretik
dengan menelaah bahan pustaka yang relevan dan hasil kajian sebelumnya,
(3) penentuan kasus atau bahan
kajian, yang meliputi kegiatan memilih dari mana dan dari siapa data
diperoleh,
(4) pengembangan rancangan
pemerolehan dan pengolahan data, yang mencakup kegiatan menetapkan
piranti, langkah dan teknik pemerolehan dan pengolahan data yang digunakan,
(5) pelaksanaan kegiatan
pemerolehan data, yang terdiri atas kegiatan mengumpulkan data lapangan atau
melakukan pembacaan naskah yang dikaji,
(6) pengolahan data perolehan,
yang meliputi kegiatan penyandian (coding), pengkategorian (categorizing),
pembandingan (comparing), dan pembahasan (discussing),
(7) negosiasi hasil kajian dengan
subjek kajian, dan
(8) perumusan simpulan kajian,
yang meliputi kegiatan penafsiran dan penyatu-paduan (interpreting and
integrating) temuan ke dalam bangunan pengetahuan sebelumnya, serta
saran bagi kajian berikutnya.
|
(1) penentuan topik kajian, yang
mencakup kegiatan memilih dan merumuskan masalah yang bernilai bagi
pembangkitan kesadaran manusia,
(2) penetapan pendirian filsafat
dan atau ideologik, yang meliputi kegiatan penelaahan pemikiran-pemikiran
yang relevan, dan perumusan secara eksplisit pokok-pokok pikiran yang
digunakan sebagai landasan pengajuan kritik,
(3) pemilihan kasus atau bahan
kajian, dengan menentukan dari mana dan dari siapa data diperoleh, (4)
pengembangan strategi pemerolehan dan pengolahan data, yang terdiri atas
kegiatan menetapkan piranti data, langkah dan teknik yang digunakan,
(5) pelaksanaan kegiatan
pemerolehan data, yang mencakup kegiatan mengumpulkan data atau melakukan
pembacaan naskah yang dikaji,
(6) pengolahan data perolehan,
yang melipuiti kegiatan penyandian (coding), pengkategorian (categorizing),
pembandingan (contrasting), dan pembahasan (discussing),
(7) perumusan simpulan kajian,
yang dilakukan berdasarkan perenungan (reflextive thinking), dan
(8) pengajuan rekomendasi baik
untuk arah kajian lanjutan maupun agenda pemberdayaan (empowerment agenda)
ke depan.
|
3. Formulating research question
Beberapa langkah untuk merumuskan
pertanyaan penelitian:
- examining literature,
yakni penelusuran literatur, selain dipakai untuk menyempitkan masalah
sehingga researchable, juga untuk membantu menyadari bahwa
penelitian ini akan memberi sumbangan pada topik yang lebih besar dan
bahwa penelitian tersebut merupakan bagian dari penelitian sebelumnya,
bukan fakta asing yang terpisah.
- talking over ideas with colleagues or experts, yakni mendiskusikan rencana atau topik penelitian
dengan kolega, teman sejawat atau ahli untuk memperoleh masukan.
- applying to a specific context, mencoba memahaminya dengan lebih dalam pada konteks
secara spesifik.
- defining the aims or desired outcome of the
study, yakni menentukan tujuan yang
hendak dicapai, apakah untuk menjelaskan realitas atau memahami fenomena.
4. Determining a research design.
Pada tahap ini peneliti membuat
rancangan tentang prosedur dan metode yang akan dipakai untuk memperoleh data,
bagaimana memperolehnya, siapa yang akan dihubungi, kapan pelaksanaannya dan di
mana, apa bentuk datanya, dan bagaimana cara analisisnya.
5. Collecting data
Secara umum kegiatan pengumpulan
data terdiri atas observasi, wawancara, dan kuesioner. (masing-masing jenis
perlu dibahas pada sesi tersendiri).
6. Analyzing data
Terdapat tiga model atau cara untuk
menganalisis data kualitatif. Miles dan Huberman (1987) menganjurkan model
analisis interaktif (interactive model) yang mengandung empat komponen
yang saling berkaitan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) penyederhanaan data, (3)
pemaparan data, dan (4) penarikan dan pengajuan simpulan.
Spradley (1979) menganjurkan empat
teknik analisis data kualitatif, yaitu (1) analisis ranah (domain analysis),
(2) analisis taksonomik (taxonomic analysis), (3) analisis komponensial
(componential analysis), dan (4) analisis tematik (thematic analysis).
Analisis ranah dimaksudkan untuk
memperoleh pengertian umum dan relatif menyeluruh mengenai pokok permasalahan.
Hasil analisis ini berupa pengetahuan tingkat “permulaan” tentang berbagai
ranah atau kategori konseptual secara umum pula.
Pada analisis taksonomik, pusat
perhatian ditentukan terbatas pada ranah yang sangat berguna dalam memaparkan
gejala-gejala yang menjadi sasaran penelitian. Analisis taksonomik tidak saja
berdasarkan data lapangan, tetapi juga berdasarkan hasil kajian pusataka. Beberapa
ranah yang sangat penting dipilih dan dijadikan pusat perhatian untuk
diselidiki secara mendalam.
Analisis komponensial dilakukan
untuk mengorganisasikan perbedaan (kontras) antar-unsur dalam ranah yang
diperoleh melalui pengamatan dan atau wawancara terseleksi.
Pada analisis tematik, peneliti
menggunakan saran Bogdan dan Taylor (1975: 82-93) dengan menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
- Membaca secara cermat keseluruhan catatan lapangan
- Memberikan kode pada topik-topik pembicaraan penting
- Menyusun tipologi
- Membaca kepustakaan yang terkait dengan masalah dan
konteks penelitian.
Berdasarkan seluruh analisis,
peneliti melakukan rekonstruksi dalam bentuk deskripsi, narasi dan argumentasi.
Beberapa sub-topik disusun secara deduktif, dengan mendahulukan
kaidah-kaidah pokok yang diikuti dengan kasus dan contoh-contoh. Sub-topik
selebihnya disajikan secara induktif, dengan memaparkan kasus dan contoh untuk
ditarik kesimpulan umumnya.
Cara atau model ketiga
disarankan oleh Strauss dan Corbin (1990) dengan langkah-langkah sebagai
berikut: (1) open coding, (2) axial coding, (3) selective coding, dan (4) the
generation of a conditional matrix.
7. Interpreting data
Pada tahap ini peneliti melakukan
simpulan kajian, yang meliputi kegiatan penafsiran dan penyatupaduan (interpreting
and integrating) temuan ke dalam bangunan pengetahuan sebelumnya.
8. Informing others.
Pada tahap ini peneliti menulis
hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian, bisa dalam bentuk skripsi,
tesis, desertasi atau laporan penelitian. Temuan penelitian disebarluaskan ke
khalayak akademik untuk memperoleh masukan dan memberikan sumbangan bagi
kemaslahatan umum. Dari temuan penelitian, kegiatan penelitian lebih lanjut
dapat dilakukan.
Secara ringkas perbedaan antara
skripsi, tesis dan desertasi sebagai berikut:
Unsur
|
Jenjang
|
||
Sarjana
(S1)
|
Magister
(S2)
|
Doktor
(S3)
|
|
|
Menguasai materi ilmu pengetahuan
masing-masing
|
Menguasai teori dan metodologi
ilmu pengetahuan masing-masing
|
Mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan masing-masing
|
|
Mahir dalam mengadakan penelitian
deskriptif (monodisiplin)
|
Mahir dalam mengadakan penelitian
analitis (monodisiplin)
|
Mahir dalam mengadakan penelitian
empiris dan evaluatif (mono-, multi-, dan interdisipliner)
|
|
Berpikir rasional logis
|
Berpikir rasional kritis
|
Berpikir rasional,
inovatif/kreatif
|
|
Memiliki kejujuran ilmiah
|
Memiliki integritas
akademik/profesi
|
Memiliki komitmen social secara
kritis emansipatoris (pengetahuan untuk kemajuan peradaban manusia dan
kemanusiaan
|
D. Penutup
Sebagai sebuah disiplin ilmu
pengetahun, manajemen pendidikan Islam memiliki ciri dan kekhasan sendiri yang
berbeda dengan bidang pengetahuan yang lain, baik dari aspek ontologik,
epsitemologik maupun aksiologik. Pemahaman ontologik yang mencakup objek dan
wilayah kajian, pemahaman epistemologik yang mencakup cara mengkajinya dan
pemahaman aksiologik yang mencakup tujuan dan manfaat kajian penting dikuasai
oleh setiap peneliti. Kekeliruan penetapan objek dan wilayah kajian akan
berakibat sangat fatal,
Sebagai bidang ilmu lintas disiplin,
manajemen pendidikan Islam memungkinkan untuk dikaji bersama para pakar di
bidang lain, seperti pakar pendidikan, pakar manajemen (umum), dan pakar studi
keislaman.
Dengan besarnya jumlah lembaga
pendidikan Islam di Indonesia yang sampai saat ini mencapai angka 85. 911
dengan jumlah siswa 11.531.028, maka bidang studi ini sangat prospektif.
Peminat studi ini pun juga semakin banyak. Seiring dengan upaya pengembangan
dan peningkatan kualitas lembaga pendidikan Islam, Indonesia sangat memerlukan
ahli di bidang ini untuk membuat blue print pengelolaan lembaga-lembaga
pendidikan Islam secara nasional. Siapa tahu ahli dimaksud muncul dari kelas
ini!
______________
Daftar
Pustaka
Alvesson, Mats dan Kaj Skoldberg.
2000. Reflexive Methodology: New Vistas for Qualitative Research.
London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications.
Denzin, Norman K and Yvonna S.
Lincoln (eds.). 1994. Handbook of Qualitative Research. Thousands Oaks,
California: SAGE Publications, Inc.
Faisal, Sanapiah. 1998. “Filosofi
dan Akar Tradisi Penelitian Kualitatif”, Makalah, Disampaikan pada
Pelatihan Metode Penelitian Kualitatif oleh Badan Musyawarah Perguruan Tinggi
Swasta Indonesia (BMPTSI) Wilayah VII-Jawa Timur di Surabaya, 24-27 Agustus
1998.
Popper, K.R. 1972. Conjectures
and refutations. The Growth of Scientific Knowledge. (4th
edition). London: Routledge and Kegal Paul.
Rahardjo, Mudjia. 2005. Bahasa
dan Kekuasaan: Studi Wacana Politik Abdurrahman Wahid dalam Perspektif
Hermeneutika Gadamerian. Disertasi pada Program Doktor, Program
Pascasarjana Universitas Airlangga.
Sulistyo-Basuki. 2006. Metode
Penelitian. Jakarta: Wedatama Wida Sastra Bekerja sama dengan Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Wuisman J.J.J. M. 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu
Sosial. Jilid 1, Asas-Asas. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.Sumber : http://www.mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/393-penelitian-manajemen-pendidikan-islam-sebuah-pencarian-metodologik34.html